Apa itu FOMO?
Pernahkah kalian memiliki perasaan tidak nyaman seperti kalian melewatkan peristiwa penting, atau mungkin merasa teman-teman Anda tengah melakukan atau mengetahui sesuatu yang tidak Anda ketahui? Atau mungkin Anda merasa akan tertinggal banyak hal penting apabila meninggalkan sosial media beberapa saat? Perasaan tersebut sering disebut sebagai FOMO atau fear of missing out. Kata “FOMO” sendiri sudah ditambahkan ke dalam Oxford Learner’s Dictionary pada tahun 2013 ini silam, dan mengacu pada perasaan gugup atau cemas yang didapat seseorang ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak menghadiri acara sosial, baik karena mereka tidak diundang atau mereka tidak ingin pergi. Tidak tanggung-tanggung, fenomena FOMO disebutkan setidaknya dialami oleh tiga perempat orang dewasa di dunia, terutama banyak ditemukan pada individu berusia 18 sampai 33 tahun.
Secara sederhana, FOMO berarti perasaan yang muncul karena “takut ketinggalan”. FOMO membuat individu merasa memiliki keterampilan sosial yang rendah, yang kemudian menimbulkan kecemasan dan perasaan inferior karena merasa kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Fenomena ini semakin berkembang terutama sejak sosial media memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Individu, terutama dewasa muda, seringkali terobsesi untuk memeriksa secara rutin status dan postingan teman-teman mereka. Oleh karenanya, apabila mereka tidak mengikuti kegiatan atau pembicaraan yang sedang hangat, maka akan muncul perasaan inferior dan merasa kurang “up-to-date” dibanding mereka yang senantiasa mengikuti perkembangan.
Sementara itu, penelitian juga menunjukkan bahwa individu yang mengalami FOMO cenderung lebih menghargai media sosial. Hal tersebut dikarenakan individu mulai membandingkan diri dengan orang lain melalui sosial media mereka. Terutama membuat mereka merasa orang lain lebih bahagia, memiliki kehidupan yang lebih baik atau melakukan berbagai kegiatan yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan apa yang dilakukan kalian saat ini. Bahkan, beberapa psikolog menyebutkan bahwa rasa takut terlewat peristiwa-peristiwa tersebut yang membuat platform media sosial menjadi begitu sukses (Krasnova H, Wenninger H, Widjaja T, Buxmann P. Envy on Facebook: A hidden threat to users’ life satisfaction?. International Conference on Wirtschaftsinformatik (WI) / Business Information Systems, 2013.). Peneliti mengklaim bahwa FOMO mendorong individu untuk menggunakan teknologi tidak hanya untuk memberi tahu orang lain tentang apa yang mereka lakukan, tetapi juga betapa menyenangkannya mereka saat melakukannya. Hal ini yang kemudian membuat individu mulai mendefinisikan hidup mereka berdasar apa yang mereka lihat secara online, dan secara tidak langsung juga menilai kehidupan berdasarkan postingan orang lain.
FOMO juga membuat individu menjadi terobsesi untuk terus memeriksa smartphone mereka, secara berulang kali, dan memastikan bahwa mereka tidak tertinggal berita apapun. Kadang, perilaku tersebut mungkin bisa menurunkan rasa cemas, tapi seringkali juga malah menjadi stressor bagi individu. FOMO juga biasanya meliputi rasa iri yang mendalam dan mempengaruhi harga diri individu. Belum lagi dengan adanya sosial media yang menjadi media saling menyombongkan kebahagiaan masing-masing membuat individu senantiasa harus memiliki kehidupan yang sempurna, pengalaman yang luar biasa, dan apabila tidak memiliki hal tersebut maka kita merasa kekurangan yang amat sangat dalam hidup. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Przybylski, dkk. (Przybylski, Andrew K., Murayama, Kou, DeHaan, Cody R., Gladwell, Valerie. Motivational, emotional, and behavioral correlates of fear of missing out. Computers in Human Behavior. July 2013: 29(4).1841-1848. doi:10.1016/j.chb.2013.02.014) menyebutkan FOMO banyak dihubungan dengan tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah. Sehingga, bisa dikatakan bahwa individu dengan FOMO dapat meningkatkan perasaan tidak bahagia.
Bagaimana Cara Mengurangi FOMO?
Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, FOMO membawa dampak negatif dalam kehidupan individu. Penelitian-penelitian terkait bahasan ini menyebutkan bahwa ketakutan akan ketinggalan ini biasanya muncul dari ketidakbahagiaan atau rasa tidak puas dari kehidupan yang dijalani, sehingga mendorong individu untuk mengalihkannya dalam penggunaan sosial media. Meningkatnya penggunaan sosial media dapat membuat individu merasa lebih buruk tentang diri sendiri dan hidup yang mereka jalani, bukan lebih baik. Oleh karenanya, dengan memahami apa masalah utama yang dialami, dapat menjadi langkah awal yang baik bagi individu untuk mengatasi perasaan FOMO yang dimiliki. Berikut ini adalah beberapa cara yang mungkin dapat membantu:
1. Mengubah Fokus
Daripada berfokus pada kelemahan diri, coba perhatikan apa yang kalian miliki. Memang, hal ini lebih mudah untuk diucapkan daripada dilakukan, apalagi dengan maraknya penggunaan sosial media, di mana kita dibombardir dengan hal-hal yang tidak kita miliki. Mulai dengan menambah lebih banyak orang positif ke lingkup sosial media kalian, gunakan fitur hide atau sembunyikan orang-orang yang cenderung arogan atau tidak mendukung kalian. Coba ubah feed kalian agar menunjukkan lebih sedikit tentang apa yang menyebabkan FOMO, dan lebih banyak berfokus pada postingan yang membuat kalian merasa baik. Terakhir, coba identifikasi dan cari tahu hal apa saja yang bisa menurunkan antusiasme kalian secara online.
2. Membuat Jurnal
Terkadang, kita menggunakan sosial media sebagai tempat untuk menyimpan memori akan kegiatan atau hal-hal yang menyenangkan. Namun, tanpa disadari hal tersebut membuat kita menjadi terobsesi untuk mendapat validasi dari orang lain secara online. Oleh karenanya, mungkin kita bisa mengubah hal tersebut menjadi secara offline, seperti dengan membuat jurnal atau mengumpulkan foto-foto dari pengalaman yang sudah kita lalui. Melalui jurnal, dapat membantu kalian untuk mengalihkan fokus dari apresiasi orang lain “secara online” ke apresiasi pribadi dari hal-hal yang membuat hidup kalian menyenangkan. Perubahan-perubahan ini dapat membantu kalian secara perlahan keluar dari sosial media dan siklus FOMO.
3. Berfokus pada Rasa Syukur
Penelitian menunjukkan bahwa terlibat dalam aktivitas yang meningkatkan rasa syukur seperti membuat jurnal atau sekadar memberi tahu orang lain apa yang kalian hargai tentang mereka dapat mengangkat semangat kalian serta orang-orang di sekitar. Hal tersebut dikarenakan akan lebih sulit untuk merasa seolah-olah kalian memiliki kekurangan, apabila berfokus pada keberuntungan dan kelebihan yang sudah kalian miliki. Hal ini juga dikarenakan dengan membuat orang lain merasa lebih baik, maka secara tidak langsung membuat kita merasa baik pula. Mungkin yang kalian butuhkan hanyalah perubahan suasana hati untuk melepaskan diri dari perasaan tertekan atau cemas. Kalian mungkin tidak akan merasa tergoda untuk kembali terobsesi dengan sosial media dan FOMO apabila kalian menyadari berapa banyak yang sudah kalian miliki di kehidupan.
Meskipun FOMO sangat berkorelasi dengan penggunaan media sosial, penting untuk diingat bahwa hal tersebut merupakan perasaan yang sangat nyata dan umum di antara orang-orang dari berbagai rentang usia. Setiap orang mengalami tingkat FOMO tertentu pada waktu yang berbeda dalam hidup mereka. Apabila kalian merasa mengalami rasa takut kehilangan sebagaimana disebutkan di atas, ada baiknya untuk mengalihkan hal tersebut dengan menghubungi teman atau meluangkan waktu untuk memikirkan hal-hal berharga dalam hidup yang membuat kalian bersyukur. Lupakan postingan kehidupan sempurna “buatan” yang kalian lihat di sosial media, dan coba untuk lebih terhubung dengan teman dan keluarga kalian. Ketika kalian menghabiskan banyak waktu merasa iri dengan gambar-gambar “sempurna” tersebut, ingat satu hal: kalian telah melewatkan kehidupan berharga kalian.