Hustle Culture: Helpful atau Toxic?

Ketika terbangun di pagi hari karena suara alarm, Kamu bergegas untuk mematikannya dan mulai mengecek pesan penting yang masuk ke smartphone. Setelah itu, Kamu memutuskan untuk bersiap-siap, disela-sela makan pagi Kamu masih disibukkan dengan email pekerjaan yang harus segera ditanggapi. Kamu berlari menuju pintu sambil menggigit sebuah roti yang belum sempat Kamu habiskan agar bisa segera memulai pekerjaan di kantor. Tidak hanya sarapan, ketika makan siang pun Kamu tidak bisa lepas dari pekerjaan. Ketika jam kerja berakhir, bukan berarti tugas Kamu juga berakhir, Kamu masih membalas email pekerjaan ketika menonton netflix atau ketika berbincang dengan keluarga, hal tersebut Kamu lakukan hampir setiap hari dan terus berulang.

Situasi di atas jika diperhatikan akan terdengar familiar. Coba tanyakan pada diri sendiri apakah Kamu menjalankan rutinitas seperti itu ? Jika ia maka Kamu terjebak dalam situasi yang Kita kenal dengan nama “hustle culture”.

Apa Itu Hustle Culture ?

Hustle culture secara sederhana didefinisikan sebagai budaya bekerja terlalu keras dan mendorong diri sendiri untuk melewati batas kemampuan dengan tujuan mendapatkan keberhasilan kapitalis berupa kekayaan, kemakmuran dan kesuksesan dalam waktu yang relatif singkat.

Mereka yang terjebak dalam hustle culture seperti mempunyai keharusan untuk mengerahkan kemampuan diri yang dimiliki pada kapasitas 110 persen agar berhasil. Hal ini juga mendorong seseorang untuk bekerja lebih keras, lebih cepat dan lebih kuat sepanjang hari. Budaya ini juga memaksa seseorang untuk memaksimalkan 1440 menit yang mereka miliki setiap harinya.

Seseorang yang mempercayai hustle culture tidak akan berhenti karena lelah, namun berhenti ketika selesai. Selama proses pencapaian hasil mereka harus meyakini MENCINTAI apa yang sedang diusahakan tanpa peduli dengan rasa lelah dan sakit yang ditimbulkan. Kesuksesan bagi seseorang yang terjebak pada hustle culture adalah bekerja secara terus menerus dan hanya meluangkan sedikit waktu untuk beristirahat. Beberapa orang melabelkan budaya ini dengan nama “gila kerja”. Fenomena Hustle Culture sudah dimulai sejak tahun 1971 dan terus menyebar sampai detik ini, terutama dikalangan generasi milenial.  

Tapi budaya gila kerja ini apakah hal yang baik (helpful) ? ataukah menjadi hal buruk (toxic) ? Hustle culture dicintai oleh banyak orang, namun juga mendapat kritikan karena dinilai beracun.

Hustle Culture Itu Bermanfaat (Helpful)

Manfaat yang akan didapatkan dari budaya gila kerja adalah jaminan untuk mendapatkan kesuksesan yang didambakan. Ketika Kamu terus bekerja keras tanpa henti bahkan setelah dihadapkan pada kegagalan maka Kamu memiliki peluang besar untuk mencapai posisi yang Kamu inginkan.

Seperti yang selalu Kita dengar jika kunci kesuksesan adalah ketekunan disertai belajar dari kesalahan. Inilah yang menjadi dasar mereka dengan budaya gila kerja terburu-buru atau memiliki keinginan secepatnya untuk mendapatkan kesuksesan.

Pikiran kesuksesan dalam waktu singkat menumbuhkan semangat juang dan membangun pandangan jika semakin Kamu bekerja keras maka semakin cepat kesuksesan akan Kamu raih. Kamu bisa pensiun dini dari rutinitas pekerjaan dan menikmati kehidupan dalam jangka panjang. Beberapa orang menyukai pemikiran seperti ini dan berupaya untuk mendapatkan kesuksesan dalam waktu singkat dan terjebak pada hustle culture.

Hustle culture mengharuskan Kamu untuk sangat disiplin terhadap perencanaan waktu yang sudah dirancang. Bekerja sepanjang waktu akan terasa sangat menyulitkan, namun jika dijalankan dengan baik maka akan menguatkan mental Kamu. Mental yang kuat akan membantu Kamu menghadapi setiap tantangan hidup dengan baik.

Hustle Culture Itu Toxic

Tidak semua orang bisa memahami dan menerima budaya gila kerja ini. Disisi lain timbul pertanyaan haruskah Kamu benar-benar bekerja selama berjam-jam setiap hari ? Berkutat dengan pekerjaan setiap hari akan meningkatkan kerusakan pada kesehatan mental kamu. Jam kerja yang lebih lama akan meningkatkan kecemasan dan depresi.

Hustle culture terkadang membuat seseorang menarik diri dari lingkungan sosialnya. Sedangkan bersosialisasi merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi manusia. Hal ini juga berdampak terhadap kinerja yang Kita tunjukkan. Jam kerja yang panjang serta waktu istirahat terbatas tidak jarang membuat Kita kesulitan untuk tidur. Hal ini akan menurunkan performa Kamu keesokan harinya. Selain itu juga berdampak pada penurunan kreativitas.

Hustle culture juga menimbulkan kelelahan dan jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan stress dalam jangka waktu lama atau burnout. Hal ini akan menjadi pemicu perasaan frustasi dan pemikiran negatif terhadap diri sendiri. Ketika semua ini terjadi maka produktivitas Kamu dalam bekerja akan berkurang dan peluang Kamu untuk mencapai kesuksesan akan berkurang.

Orang-orang menilai budaya kerja secara positif dan negatif. Ketika Kamu memiliki keyakinan dengan hustle culture maka Kamu harus menyeimbangkannya dengan menjaga kesehatan mental Kamu. Kamu bisa menerapkan prinsip “bekerja lebih cerdas bukan lebih keras”. Intinya Kamu harus menjadi produktif dan efisien dengan melakukan pekerjaan yang harus Kamu lakukan secara baik dan tidak menghabiskan waktu ekstra untuk menyelesaikannya.

Tentang Penulis

Defka Yuliani